Selasa, 05 Maret 2013

Ternyata, akupun pernah jadi Gayus…

Jaksa & Polisi: Saya tuh Berdosa Karena Kamu, Sih!
Membaca koran, menonton TV, mendengar “pembelaan diri” khususnya dari pihak Kejaksaan, pihak Kepolisian, serta pihak Penegak Hukum lainnya, benar-benar akan membuat kita sedih. Paling tidak, saya pribadilah yang sedih. Mengapa?
Pertama, saat ini manusia Indonesia yang bernama Gayus, sepertinya adalah penyebab kerusakan moral dan kebobrokan spiritual yang terjadi di dunia Hukum Indonesia. Gayus ini Bejat, Gayus itu Bangsat, Gayus memang Bajingan, Gayus si Bulus, Gayus tuh Anjing, Gayus itu Maling, Gayus Manusia Sampah dsb, dsb dan dsb… Hmmm… Benarkah demikian? Hati-hatilah… Satu jari menuduh ke orang lain, tiga jari menunjuk ke dalam diri dan si jempol menjadi saksi perbuatan ini, bukan?
Cepat sekali orang membela dirinya! Mudah sekali orang menghujat, memaki, mengutuk dan menilai… (sayapun masih sering demikian he he)
Kedua, bagaimana bisa para penegak hukum kita, khususnya kasus sekitar Gayus (artinya tidak semua orang ya…) mempunyai Mindset bahwa “Saya tuh Berdosa Karena Kamu, Sih”. Saya jadi ikut tergoda deh. Saya bisa jadi begini, karena ditawari “rejeki” sih. Saya tuh jujur, bisa lupa diri karena diajak Gayus. Singkatnya, kalo saya masuk neraka itu bukan karena kesalahan saya, lho. Itu, salahnya Setan yang menggoda saya. Lha, setan itu ciptaan Tuhan, berarti akhirnya Tuhan yang salah, dong?
Tujuan tulisan ini, hanya untuk bercermin diri. Minimal untuk saya sendiri. Saya tidak kenal siapa itu Cirrus Sinaga, siapa itu Gayus, siapa itu Kompor eh Kompol he he he…
Saya hanya ingin berkaca saja. Apakah saya adalah seorang yang…
Bertanggungjawab atas Pilihan Diri Sendiri
Atau saya masuk kelompok orang yang senang dengan kata “seandainya”. Contoh: Seandainya, kamu tidak menyogok saya, maka saya tidak akan dipecat. Seandainya saya tidak dipaksa oleh atasan, saya tidak akan terseret ke pengadilan.
Setuju sekali bahwa kita berada di dalam sebuah situasi, sebuah sistem, sebuah komunitas, sebuah Korps yang harus dibela. Namun, ingat. Untuk dibela dengan Benar, bukan dibela karena Kejahatan, karena Kebodohan, karena Persekongkolan atau istilahnya Mafioso.
Berat? Ya, memang. Hidup ini hanya pilihan, demi pilihan hidup saja, bukan? Saat, kita bisa memilih yang mana yang benar dan menolak mana yang salah, maka hidup kita akan terus melaju ke depan. Sederhana sekali.
Namun, bukan berarti manusia tidak bisa salah pilih. Bisa saja. Lalu? Ya, bertanggungjawab saja atas kesalahan yang diperbuat. Setelah itu, perbaiki dan teruslah melangkah maju lagi…
Kejahatan Tuh Sederhana Saja, kok!
Ya, kejahatan yang terjadi pada Gayus itu sederhana saja. Bukan persoalan yang besar. Namun, menjadi besar karena banyak uang besar disana he he… Jumlah uang menentukan kebesaran sebuah kejahatan, kira-kira demikianlah logikanya. Saya bukan ahli korupsi dan sejenisnya, jadi saya tidak mau membahas soal hukum disini.
Buat saya, pakai logika sederhana saja untuk belajar proses kejahatan tersebut.
Pasti Ada yang Meng-order
Ya, mana mungkin orang jujur takut dengan orang pajak. Kalau saya benar, buat apa saya nyogok. Kalo orang pajak minta uang, maka itu sebuah kemenangan buat saya sebagai wajib pajak. Nah, ketahuan deh. Hmmm… ketangkep basah deh… Buat saya sederhana saja, kalo saya benar, saya berani melawan apapun!
(termasuk membongkar kasus Kejahatan Hipnoterapis Cabul, yang tulisannya sebentar lagi saya posting di website ini. Walau banyak tekanan dari para Senior Hipnoterapis, saya maju terus aja. Bila kita benar, mengapa harus takut! Yok, buktikan semuanya di depan hukum… Tunggu bentar lagi ya, artikelnya). Lanjuuut…
Jadi, tidak mungkinlah kejahatan ini muncul jika laporan pajaknya benar. Karena tahu banget mau “dibenarkan”, maka dibuatlah Surat Penawaran Permohonan agar dibantu he he…
Pasti Ada yang Memberi
Mana ada doa yang langsung dikabulkan Tuhan? Walau katanya doa orang miskin itu manjur, namun belum ada contoh nyata seseorang berdoa tiba-tiba ditransfer uang miliaran ke rekeningnya he he… Sekaligus rumah mewah di Kelapa Gading, kecuali doa si Gayus he he… Artinya pasti ada yang memberi. Pasti bukan Tuhan, juga pasti bukan Setan. Yang pasti, dari manusia. Dari orang yang punya uang. Orang yang minta tolong agar pajaknya “dirapikan”. Sederhana sajalah…
Pasti Ada yang Menerima
Karena ada yang memberi, pasti ada juga yang menerima. Siapa yang salah? Gak tauk juga! Tidak ada yang salah, menurut hukum mereka. Hanya bisa jadi masalah, jika Gayus tidak mau menerima “doa” tadi. Jadi, harus ada yang “berani” menerima uang jasa merapikan laporan pajak tadi. Harus ada, itu hukumnya.
Belajar dari Sebuah Kejahatan
Yok, kita kembali ke tujuan awal tulisan ini. Sekali lagi ini bukan soal Gayus, soal Cirru, soal Pajak, soal Hukum, soal Penjara, soal Hukum, soal Kabur, soal Tenis he he… Ini soal diri. Ini soal bagaimana saya bisa belajar dan bertumbuh dari sebuah kejadian, yang mungkin menurut orang banyak, itu adalah sebuah kejahatan. Sesuatu yang harus dihindari. Karena menjijikan, karena haram, karena sampah. Silakan saja…
Namun, buat saya Gayus adalah Guru kehidupan. Banyak hal tertutup yang terbuka, banyak sistem macet yang terkuak, banyak manusia “suci” yang terhenyak, banyak aturan “ngawur” yang ketahuan, banyak permainan yang diketahui, banyak “penjahat baik” yang dipenjara, banyak jaksa “baik” yang ikut terpeleset, banyak polisi “sederhana” yang beneran jadi sederhana. Banyak hal yang dapat ditarik nafas hikmahnya. Sungguh, sangat banyak…
Ternyata, akupun pernah (baca sering) jadi Gayus…
Astaga, Gayus! Ternyata akupun pernah bahkan sering sekali jadi Anda. Aku pernah berbohong. Aku pernah menyuap pejabat pemerintah, walau itu hanya pembuat KTP. Atau, aku menyogok polisi di jalanan agar tidak ditilang. Aku ini ternyata pernah, bahkan sering juga jadi bajingan. Akupun sering keliru antara ngomong bangsa atau bangsat. Ah, akupun kotor. Tidak hanya engkau Gayus.
Bahkan, kalo mau jujur. Aku lebih kotor darimu. Hanya saja, kau tertangkap, aku tidak he he… Kau sial, aku belum. Kau dikorbankan, aku tidak. Karena aku dipecat dari kantorku hi hi… Sungguh, akupun pernah jadi Gayus. Bahkan, mungkin sampai sekarang masih ada tersimpan mental Gayus di dalam diriku. Aku harus sungguh hati-hati. Aku harus terus waspada, eling… Ampunilah aku ini ya Allah…
Kekeliruan adalah Sebuah Peluang Besar
Bila kita mau bertanggungjawab akan setiap perbuatan keliru yang pernah kita lakukan, maka hal itu akan jadi peluang. Ya, sebuah peluang yang sangat besar untuk menjadi Turning Point, Titik Balik, Putar Arah, Hitam ke Putih dalam kehidupan ini. Namun, bukan berarti masalah itu selesai. Masalah itu dipertanggungjawabkan agar selesai.
Kekeliruan adalah sebuah peluang. Sebuah kesempatan, sebuah momentum untuk perubahan. Siapa yang berani mengambil kesempatan ini, dialah yang akan jadi pemenang dalam kehidupan ini. Minimal untuk dirinya sendiri…
Akupun pernah mengalaminya, maka aku berani melanjutkan cerita ini.
Mandilah di Air Pancuran
Setelah tekad untuk balik arah tersebut diambil, setelah kekeliruan tersebut dipertanggungjawabkan, setelah pencanangan bahwa akulah yang bertanggungjawab atas semua ini, maka akan lebih mudah kita mandi ke air pancuran. Akan lebih mudah kotoran diri ini dicuci. Akan lebih gampang lepas daki di kulit tangan ini. Ambil pasir di pantai, gosoklah seluruh tubuh ini, lalu mandilah di ombak dengan kegembiraan. Yakinlah, Allah maha pemaaf dan maha pengampun.
Kubuang semua dunia.

Kubuang barang yang membuat pundakku berat.
Kelepas semua baju yang membuatku bangga.
Kukembalikan yang bukan namaku.
Biar aku tidak ada apa-apa.
Kusiram kepala ini dari mabuk dunia.
Lebih segar agar aku bisa terbangun.
Aku tabok pipiku agar aku sadar.
Hidup ini ada batas. Ada waktu. Ada umur.
Repotnya setiap hari semakin pendek.
Makin bernafas, makin sedikit.
Kusadari aku tersesat. Kusadari jalan ini salah.
Aku harus berhenti. Aku harus kembali.
Ke jalan awal. Walau itu titik mulai.
Namun lebih baik mulai lagi dari awal.
Dibandingkan keteruskan salah jalan ini.
Karena akhirnya hidup ini adalah perjalanan.
Terlalu banyak jalan yang bisa menyesatkan.
Terlalu banyak pilihan yang membingungkan.
Namun, saat aku sadari aku di jalan salah.
Aku punya peluang untuk pindah jalan.
Semoga pengalaman salah ini berhikmah.
Untuk orang yang berada di belakangku.
Agar tidak mengikutiku yang salah.
Banyak jalan yang lebih baik.
Banyak cara yang lebih putih.
Banyak kendaraan yang bersih.
Namun, ijinkan aku memilih berjalan kaki.
Agar aku bisa bermandikan peluh.
Dengan berpeluh, aku bisa bersyukur.
Bahwa Engkau masih cinta daku.
Engkau selalu maafkan aku.
Engkau sungguh maha pencinta.
Ijinkan aku pulang telanjang.
Ijinkan aku pulang telanjang..
Ijinkan aku pulang telanjang…
Dan…
Telanjanglah sebelum pulang…
Telanjanglah sebelum berpulang…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar