Di era otonomi daerah sekarang ini,
kata pemekaran daerah sudah menjadi kata yang tak asing lagi bagi kita.
Kata itu sudah sering kita dengar dalam keseharian kita, pemekaran
daerah merupakan bagian dari desentralisasi dan otonomi daerah. Tapi,
sudahkah kita mengetahui apa makna dari pemekaran daerah itu?
Istilah pemekaran secara etimologis
berasal dari kata asalnya, yaitu mekar. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia berarti : 1) Berkembang menjadi terbuka 2) Menjadi besar dan
gembung 3) menjadi tambah luas, besar, ramai, bagus 4) Mulai timbul dan
berkembang.
Definisi pemekaran daerah dari Kamus
Besar Bahasa Indonesia itu, masih menjadi perdebatan, karena dirasakan
tidak relevan dengan makna pemekaran daerah yang kenyataannya malah
terjadi penyempitan wilayah atau menjadikan wilayah menjadi kecil dari
sebelumnya karena seringkali pemekaran daerah itu bukan penggabungan dua
atau lebih daerah otonom yang membentuk daerah otonom baru. Akan
tetapi, pemecahan daerah otonom menjadi dua atau lebih daerah otonom
baru.
Hal ini sejalan dengan apa yang
dikemukakan dalam PP No. 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan,
Penghapusan dan Penggabungan Daerah, bahwa pemekaran daerah adalah
pemecahan provinsi atau kabupaten/kota menjadi dua daerah atau lebih.
Menurut Makaganza (2008) istilah pemekaran daerah sebenaranya dipakai sebagai upaya memperhalus bahasa (eupieisme)
yang menyatakan proses “perpisahan” atau ‘pemecahan”satu wilayah untuk
membentuk satu unit administrasi lokal baru. Dilihat dari kacamata
filosofi harmoni, istilah perpisahan atau perpecahan memiliki makna yang
negatif sehingga istilah pemekaran daerah dirasa lebih cocok digunakan
untuk menggambarkan proses terjadinya daerah-daerah otonom baru pasca
reformasi di Indonesia.
Jika kita lihat ke belakang, pemekaran
daerah begitu gencarnya dilaksanakan sejak zaman reformasi. Hal ini
disebabkan oleh adanya anggapan bahwa zaman orde baru yang sentralistis
itu sangat tidak adil bagi daerah. Daerah hanya menjadi sapi perahan
yang diambil sumber daya alamnya dan hasilnya diserahkan ke pemerintah
pusat. Tidak ada pembangunan di daerah, pembangunan hanya terpusat di
Ibu Kota Negara, Jakarta. Sehingga menimbulkan kesenjangan pembangunan
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Dengan pergantian rezim pemerintahan, serta dengan diberlakukannya PP Nomor 129 Tahun 2000, terjadi booming usulan
pemekaran daerah. Menurut Depdagri (2009) dari tahun 1999 hingga 2009,
terbentuk 205 daerah baru yang terdiri dari 7 provinsi, 164 kabupaten
dan 34 kota. “Booming” pemekaran daerah itu berkaitan dengan
dua faktor, yaitu 1) keterbukaan dan demokrasi pasca orde baru dan 2)
kebijakan pemerintah yang bergeser dari sentralisasi ke desentralisasi.
Thomas Bustomi (2009) mengemukakan pada
dasarnya, pembentukan daerah otonom mempunyai dua tujuan utama, yaitu
meningkatkan pelayanan publik dan sebagai sarana pendidikan politik di
tingkat lokal. Dari pendapat ini, pemekaran daerah diharapkan dapat
tercapainya peningkatan pelayanan dan sebagai sarana pendidikan politik
bagi masyarakat daerah. Artinya jika kedua hal tersebut tidak tercapai
berarti tujuan pemekaran daerah tidak tercapai.
J Kaloh (2007) lebih lanjut mengatakan
bahwa dalam konteks pemekaran daerah / wilayah tersebut yang lebih
dikenal dengan pembentukan daerah otonom baru, bahwa daerah otonom
tersebut diharapkan mampu memanfaatkan peluang yang lebih besar dalam
mengurus dirinya sendiri, terutama berkaitan dengan pengelolaan
sumber–sumber pendapatan asli daerah, sumber daya alam, dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat setempat yang
lebih baik
Begitu gencarnya usulan pemekaran daerah
yang dilakukan untuk membentuk pemerintahan daerah juga disebabkan
beberapa hal. Adapun menurut Nunik Retno Harawati dalam Kushandajani
(2011), Bank Dunia menyimpulkan bahwa ada 4 faktor utama pendorong
pemekaran daerah :
- Motif untuk efektifitas administrasi pemerintahan mengingat wilayah daerah yang begitu luas, penduduk yang menyebar dan adanya ketertinggalan dalam pembangunan
- Kecenderungan untuk homogenitas (etnis, bahasa, agama, urban rural, tingkat pendapatan). Beberapa pemekaran daerah lebih didasari motif ingin lepas dari himpitan “penindasan” kelompok |ain atas dasar etnis, agama, dan lain.
- Adanya kemanjaan fiskal yang dijamin UU dengan disediakannya DAU, DAK, Bagi Hasil dari Sumber Daya Alam dan disediakannya sumber sumber pendapatan daerah
- Motif pemburu rente dari para elite. Pemekaran daerah banyak didasari motif karena ingin menjabat di Birokrasi Lokal dan DPRD. Selain itu, pemekaran daerah juga didasari motif untuk membangun kembali sejarah dan kekuasaan aristokrasi lama yang pernah pudar di masa lalu.
Sedangkan menurut Tri Ratnawati (2009)
pemekaran daerah yang selama ini terjadi di Indonesia memiliki
motif-motif yang tersembunyi, seperti :
- Gerrymander yaitu usaha pemekaran daerah untuk kepentingan partai politik tertentu.
- Pemekaran daerah telah berubah menjadi semacam “bisnis”
- Tujuan pemekaran daerah seperti untuk merespon separatisme agama dan etnis sebenarnya bermotifkan untuk membangun citra rezim, memperkuat legitimasi rezim berkuasa, self interest dari para aktor elit daerah maupun pusat
Apapun yang melatari setiap pemekaran
daerah itu, yang jelas baru-baru ini berdasarkan evaluasi tahunan
Kemendagri, sebagian besar daerah otonomi hasil pemekaran (DOHP)
berkinerja kurang memuaskan. Salah satu penyebab cenderung memburuknya
kinerja DOHP adalah belum efektifnya proses evaluasi kelayakan
pengusulan pembentukan daerah pemekaran. Pemerintah terus berupaya
mengatasi permasalahan ini dengan mengadakan evaluasi penyelenggaraan
otonomi daerah tiap tahunnya. Tujuan evaluasi tidak lain tidak bukan
untuk menilai kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam upaya
peningkatan kinerja untuk mendukung pencapaian tujuan penyelenggaraan
otonomi daerah berdasarkan prinsip tata kepemerintahan yang baik.
(Depdagri, 2011)
Sumber :
- J Kaloh. 2007. Mencari Bentuk Otonomi Daerah. Jakarta : Rineka Cipta
- Kushandajani. 2011. Jurnal Ilmu Politik, Volume 2 No.1. Semarang : Program Studi Magister llmu Politik Universitas Diponegoro
- Makagansa,H.R. 2008. Tantangan Pemekaran Daerah. Yogyakarta : FUSPAD
- Ratnawati, Tri. 2009. Pemekaran Daerah : Potitik Lokal dan Beberapa lsu Terseleksi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
- Thomas Bustomi. Akankah Pemekaran Daerah Melahirkan Strong Government yang diikuti Prakarsa Otonomi Desa. Edisi No. 139 April 2009
- http://www.depdagri.go.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar