Selasa, 19 Februari 2013

Pemekaran Daerah

Seiring dengan berjalannya kebijakan otonomi daerah mulai tahun 2000, telah memberikan imbas dengan makin banyaknya daerah yang dimekarkan. Pada tahun 2000 terdapat 27 Provinsi dan 336 Kabupaten/Kota yang kemudian membengkak di tahun 2010 menjadi 33 Provinsi dan 491 Kabupaten/Kota. Artinya dalam 10 tahun jumlah daerah di Indonesia membengkak sebanyak 161 daerah pemekaran atau sebesar 44% dari jumlah daerah di tahun 2000.
Faktor utama penyebab mekarnya suatu daerah adalah dari sisi tinjauan peningkatan pelayanan masyarakat. Dikarenakan luasnya wilayah suatu daerah, mengakibatkan pelayanan terhadap masyarakat kurang maksimal. Sehingga kondisi ini memaksa wilayah-wilayah yang  notabene jauh dari jangkauan pusat pemerintahan daerah untuk mengusulkan pemekaran daerah. Faktor lain dari pemekaran daerah adalah kemampuan untuk meningkatkan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di wilayah. Terutama daerah yang sebelumnya jauh dari pusat pemerintahan.
Namun demikian, tujuan sebagaimana dimaksud diatas lambat laun mulai tergerus oleh kepentingan sesaat segelintir orang. Dimana ada fenomena pemekaran wilayah lebih dikarenakan alasan ingin mendapatkan kekuasaan atas daerah pemekaran tersebut. Tidak menutup kemungkinan sebuah daerah memekarkan dirinya  dan memiliki 4 daerah baru misalnya, yang secara otomatis akan membengkak juga jumlah personil PNS-nya. Pembengkakan jumlah PNS ini diharapkan mampu mendongkrak kucuran DAU dari pusat.  Semula hanya ada 1 Sekretaris Daerah , setelah mekar menjadi  1 (daerah induk)  + 4 (daerah pemekaran) = 5 Sekretaris Daerah,  yang semula pegawai PNS nya hanya 1000 orang misalnya, bukan tidak mungkin kedepan akan menggembung jumlah PNS nya menjadi 4 kali lipat atau 4000 orang. Dan jangan lupa bahwa daerah pemekaran baru juga membutuhkan DPR yang lebih banyak dari sebelum pemekaran, sehingga berefek kepada membengkaknya anggaran rutin.
Kebijakan pemekaran daerah yang dulunya sebagai solusi untuk meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat serta memakmurkan daerah yang dinilai jauh dari sentuhan pembangunan, kemudian bergeser menjadi kepentingan praktis yang berefek negatif terhadap kebijakan anggaran. Pemekaran yang tidak mengindahkan tujuan luhur dan utama sebagaimana tersebut diatas telah memberikan efek negatif terhadap kebijakan anggaran secara keseluruhan dimana sesuai dengan apa yang dilansir oleh LSM FITRA bahwa APBD sebagian besar untuk Belanja Tidak Langsung (Belanja Gaji dan Urusan Wajib) dan semakin hari Belanja Langsung (Pembangunan) dan Belanja Modal makin berkurang.
Ada benarnya juga dengan adanya Kebijakan Moratorium  1 (penghentian sementara Pemekaran Daerah) dan Kebijakan Moratorium 2 (penghentian sementara rekruitmen dan pengangkatan CPNS) yang diambil pemerintah pusat guna menata ulang pola kebijakan anggaran secara keseluruhan sehingga lebih menitikberatkan kepada pelayanan masyarakat utamanya untuk pembangunan sarana publik dan pembangunan fasilitas penunjang pembangunan ekonomi dibandingkan anggaran untuk pembayaran gaji pegawai dan urusan wajib lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar