Seiring
dengan berjalannya kebijakan otonomi daerah mulai tahun 2000, telah
memberikan imbas dengan makin banyaknya daerah yang dimekarkan. Pada
tahun 2000 terdapat 27 Provinsi dan 336 Kabupaten/Kota yang kemudian
membengkak di tahun 2010 menjadi 33 Provinsi dan 491 Kabupaten/Kota.
Artinya dalam 10 tahun jumlah daerah di Indonesia membengkak sebanyak
161 daerah pemekaran atau sebesar 44% dari jumlah daerah di tahun 2000.
Faktor
utama penyebab mekarnya suatu daerah adalah dari sisi tinjauan
peningkatan pelayanan masyarakat. Dikarenakan luasnya wilayah suatu
daerah, mengakibatkan pelayanan terhadap masyarakat kurang maksimal.
Sehingga kondisi ini memaksa wilayah-wilayah yang notabene jauh dari
jangkauan pusat pemerintahan daerah untuk mengusulkan pemekaran daerah.
Faktor lain dari pemekaran daerah adalah kemampuan untuk meningkatkan
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di wilayah. Terutama daerah yang
sebelumnya jauh dari pusat pemerintahan.
Namun
demikian, tujuan sebagaimana dimaksud diatas lambat laun mulai tergerus
oleh kepentingan sesaat segelintir orang. Dimana ada fenomena pemekaran
wilayah lebih dikarenakan alasan ingin mendapatkan kekuasaan atas
daerah pemekaran tersebut. Tidak menutup kemungkinan sebuah daerah
memekarkan dirinya dan memiliki 4 daerah baru misalnya, yang secara
otomatis akan membengkak juga jumlah personil PNS-nya. Pembengkakan
jumlah PNS ini diharapkan mampu mendongkrak kucuran DAU dari pusat.
Semula hanya ada 1 Sekretaris Daerah , setelah mekar menjadi 1 (daerah
induk) + 4 (daerah pemekaran) = 5 Sekretaris Daerah, yang semula
pegawai PNS nya hanya 1000 orang misalnya, bukan tidak mungkin kedepan
akan menggembung jumlah PNS nya menjadi 4 kali lipat atau 4000 orang.
Dan jangan lupa bahwa daerah pemekaran baru juga membutuhkan DPR yang
lebih banyak dari sebelum pemekaran, sehingga berefek kepada
membengkaknya anggaran rutin.
Kebijakan
pemekaran daerah yang dulunya sebagai solusi untuk meningkatkan
pelayanan terhadap masyarakat serta memakmurkan daerah yang dinilai jauh
dari sentuhan pembangunan, kemudian bergeser menjadi kepentingan
praktis yang berefek negatif terhadap kebijakan anggaran. Pemekaran yang
tidak mengindahkan tujuan luhur dan utama sebagaimana tersebut diatas
telah memberikan efek negatif terhadap kebijakan anggaran secara
keseluruhan dimana sesuai dengan apa yang dilansir oleh LSM FITRA bahwa
APBD sebagian besar untuk Belanja Tidak Langsung (Belanja Gaji dan
Urusan Wajib) dan semakin hari Belanja Langsung (Pembangunan) dan
Belanja Modal makin berkurang.
Ada
benarnya juga dengan adanya Kebijakan Moratorium 1 (penghentian
sementara Pemekaran Daerah) dan Kebijakan Moratorium 2 (penghentian
sementara rekruitmen dan pengangkatan CPNS) yang diambil pemerintah
pusat guna menata ulang pola kebijakan anggaran secara keseluruhan
sehingga lebih menitikberatkan kepada pelayanan masyarakat utamanya
untuk pembangunan sarana publik dan pembangunan fasilitas penunjang
pembangunan ekonomi dibandingkan anggaran untuk pembayaran gaji pegawai
dan urusan wajib lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar